TAHAP KEDUA
Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada awal ceramah –
dari abad ketujuh H hingga menghampiri abad kesembilan H. Yakni dari
masa Al Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-Habib Abdullah Al
Haddad. Tokoh-tokoh tahap ini terkenal dengan gelar “Syekh”. Apabila
kita hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa ini,
yang di antara tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih Mugaddam
[5] , Assegaf [6] , Al Muhdhar [7] , Al-A’idarus [8] , Zain Al-A’bidin Al-A’idarus [9]
dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa
tokoh-tokoh tahap ini, dalam kenyataannya yang dibuktikan melalui karya
dan hasil tulisan mereka, tidaklah mencapai hasil atau kualitas puncak,
baik dalam penulisan karya-karya ilmiah maupun dalam syair. Bahkan
tidak kita jumpai di antara karya mereka yang menunjukkan kejeniusan
dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan kebudayaan yang dapat
mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak dan pengamalan agama.
Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup besar terhadap segi-segi lahiriah – penerj.). Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah, terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa.
Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup besar terhadap segi-segi lahiriah – penerj.). Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah, terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa.
Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah mengalami
peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya. Apabila tahap terdahulu
kegiatannya terbatas pada bidang pertanian saja, dengan
menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka
Alawiyin pada tahap ini – di samping pertanian – telah juga berinvestasi
di bidang perdagangan. Mereka mendirikan pusat-pusat perdagangan di
pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman. Mereka juga mengadakan perjalanan
dagang ke India dan negara-negara lain, disertai dakwah menyiarkan agama
Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negara-negara Asia Tenggara), untuk
kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka lakukan kemudian (yakni
sekitar abad kesebelas H. – penerj.). Dengan cara demikian mereka
perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam negeri dengan
mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan mereka hanya
terbatas pada bidang pertanian saja.
Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin melakukan berbagai
kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa,
mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus,
dan berdakwah. Allah telah berkenan memberikan berkah waktu dengan
membagi masing-masing kegiatan secara cermat, sehingga dapat melakukan
semua kegiatan itu dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang digariskan
oleh syari’at.
Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap ini, maka seperti
telah dikemukakan pada awal ceramah. bahwa “Tarekat Tasawuf” baru
dikenal di hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh Abu Madyan –
tokoh ahli Sufi dari negeri magrib (Afrika utara) mengutus muridnya
yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al Muqaddam
secara khusus dan beberapa ulama yang lain di negeri ini. Dalam pada
itu, Syekh Abu Madyan juga mengirim “khirqah” tasawuf, berupa sehelai
baju yang dipakaikan oleh seorang guru (tasawuf) kepada muridnya, yang
dengan demikian seorang guru berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu
(secara tasawuf ).
Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh Abu Madyan
memakaikan “khirqah” itu kepada Al Faqih Al Muqaddam. Ketika Syekh Abu
Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah,
demikian juga dengan beberapa ulama Tarim yang tidak menyukai hal itu,
sebab mereka khawatir akan kehilangan citacita dan rencana mereka untuk
menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu
Alfagih Almugaddam belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan
dengan acapkali menyandang senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar
ia meletakkan pedang menyilang di atas pahanya.
Orang-orang yang kurang senang dengan tidakan Al Faqih Al Muqaddam
itu, mengira apa yang kelak akan dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam
merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata memperhatikan
segi-segi keruhanian tanpa menghiraukan urusan duniawi. Namun
sesungguhnya Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan luas.
Ia tidak menginginkanm pengikutnya mengenakan gombal bertambal
(muragga’at), mengembara tanpa arah sebagai “darwisy” (orang ‘fakir’)
yang melakukan cara-cara aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau
menjalankan latihan-latihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al
Muqaddam melarang pengikutnya bertaklid buta terhadap guru, khususnya
dalam hal-hal yang ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan
Sunnah.
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah
“Atthariqah Al-Alawiyah” yang dasarnya adalah mengikuti apa yang
tersurat di dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran Nabi),
meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in).
Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat
agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain,
serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut :
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah, ikutilah Sunnah nabi
Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya
Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran
Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak
Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf,
tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas
kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun
pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan
para tabi’in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang
untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah.
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap
zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta
yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui jalan yang wajar dan
halal, yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu,
mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya,
menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan,
membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk
menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Mengusahakan
perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang
bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi’i,
namun mereka tidak bertaklid kepada Syafi’i dalam segala hal. Dalam
soal-soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Syafi’i.
Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid),
namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal,
seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya
Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun
mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan
kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka
yang mengatakan. “Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa pernyataan
seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya” [10].
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai
nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melangar akhlak,
apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh
beberapa penganut tarekat lainnya.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai
nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melanggar
akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan
oleh beberapa penganut tarekat lainnya.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat
atau melakukan latihan latihan rohani secara berlebihan dan melampaui
batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan
cara yang tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan
semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan
kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan
nafsu angkara murka dan syahwat.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak
melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan
penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau
usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik
sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.
Alfagih Al-Muqaddam – misalnya – bapak Alawiyin dalam tasawuf,
mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi
perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan
keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin
tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari
ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu – seperti
di riwayatkan di dalam Silsilah Al A’idarusiyah – adalah sekitar 360
guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).
Penulis kitab Almasyra’ Arrawiy bercerita tentang kekayaan Alhabib Abdullah bin Alawi.[11]
Putera Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi ini telah
mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia
mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang
memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah yang diberikan kepada para
penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya,
hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah
dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru)
terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan
Maghrib(Afrika Utara).
Demikian pula dengan Habib Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan
kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun
memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta
laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada
waktu antara maghrib dan isya’, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib,
penulis kitab Aljauhar. Pohonpohon kurmanya amatlah banyak, tidak
sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri,
sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya.
Habib Al Muhdhar putra Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang
diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang yang cukup
kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal, tanah-tanah
pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di
dalam surat wasiatnya.
Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A’dani, putra Habib Al-A’idarus
(yang makamnya cukup terkenal di kota Aden) tergolong seorang hartawan
di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu
dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.
Al-A’dani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30 ribu
dinar. Al-A’dani wafat 914 H.
Demikian pula halnya dengan keturunan Abdullah bin Syekh Al-A’idarus (
keponakan AlA’dani), yang banyak berhubungan dengan raja-raja India.
Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil
karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan
serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu
memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan
pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk
perbaikan sosial dan kepentingan umum.[12]
Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran
tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada
fanatisme dan jumud (kebekuan)atau menjurus kepada ekstrimisme dan
ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara
keseimbangan dalam semua segi.
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada
tokoh-tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu
dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar,
baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya
berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus,
maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan
beberapa kali di waktu malam. Hal – hal semacarn itu hanyalah merupakan
tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang
tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di
samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya. Hal-hal semacarn ini
memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang
khusus dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan
mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga
apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum
terhadap sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai
“karamah” yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu
pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang
diucapkan oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu – seperti dicatat oleh
sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan
dengan prinsip-prinsip syara’, dan yang terkenal dengan sebutan
syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham “wahdatul
wujud” (panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan
membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab
kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam
sejarah. Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada
saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada
dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu
dapatlah dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang
mengakibatkan dosa, apalagi kufur.
Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya.
—————————————————————————————————————————————
Catatan Kaki :
05. Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah mengenakan “khirgah” (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima “khirgah” itu melalui seorang perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muq’ad, seorang murid Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus untuk tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum sempat menemui Al Fagih Al Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan misi itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al Maghribi untuk menyampaikan “khirgah” kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim, Menurut kitab AlMasyra ‘Arrawiy, Al Fagih Al Mugaddam telah mencapai derajat Al Mujtahid Al Muthlaq di dalam ilmu Syari’at, – makam Al Quthbiyah di dalam bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan AI-Imamah- Wafat 653 H.
Catatan Kaki :
05. Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah mengenakan “khirgah” (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima “khirgah” itu melalui seorang perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muq’ad, seorang murid Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus untuk tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum sempat menemui Al Fagih Al Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan misi itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al Maghribi untuk menyampaikan “khirgah” kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim, Menurut kitab AlMasyra ‘Arrawiy, Al Fagih Al Mugaddam telah mencapai derajat Al Mujtahid Al Muthlaq di dalam ilmu Syari’at, – makam Al Quthbiyah di dalam bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan AI-Imamah- Wafat 653 H.
06.
Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin
Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh
ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri,
saudaranya Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh
Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar Assagaf karena
kedudukannya sebagai “pengayom”, serta tingginya derajat ulama ini baik
dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan. Assagaf
telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan
mesjid-mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun segala
kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan hatinya,
apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga kalau seandainya
dikatakan kepadaku,” kata Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada yang
berbuah, aku akan menari kegirangan“. Di antara kata mutiara Assagaf
adalah sebagai berikut : “Manusia semua membutuhkan ilmu, ilmu
membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan akal membutuhkan taufik.
Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan amal tanpa niat adalah
sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah adalah tidak
diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati
dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”. Assaqaf wafat pada
tahun 819 H.
07.
Umar Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf. Imam zamannya dalam ilmu,
tokoh dalam tasawuf. Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya tidak
pernab sunyi dari para tamu yang datang berkunjung baik untuk
kepentingan agama maupun kepentingan duniawi – Menjamin nafkah beberapa
keluarga yang tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al Muhdhar
terkenal dengan doanya yang amat mustajab. Wafat 833 H
08.
Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf terkenal dengan gelar
A1-A’idarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat dan
langsung diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang sekaligus
bertindak sebagai gurunya. Ia telah mempelajari ilmu-ilmu Syari’at,
Tasawuf dan Bahasa. Ketika AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun.
Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Imam Muhammad bin
Hasan. Jamal Al-Lail sebagai Naqib, namun menolak dan menyarankan agar
mengangkat Abdullah Al-A’idarus ini untuk menggantikan pamannya. Ulama
besar yang bertindak menyebarluaskan ilmu dan dakwah, tekun dan mengisi
waktunya dengan ibadah, menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di
dalam kitab Almasyra’ dinyatakan: “Dalam kedermawanan bagaikan seorang
amir, namun dalam tawadhu’ bagaikan seorang fakir”. Sangat senang
menampakkan nikmat Allah atas dirinya dengan mengenakan pakaian-pakaian
indah, kendaraan yang megah dan rumah yang bagus. Wafat 865 H.
09.
Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al ‘Aidarus, adalah seorang
Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah ayahnya
sendiri. Ia bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, tidak pernah
berpisah selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin
menggantikan ayahnya itu sebagai Naqib, mencurahkan seluruh tenaga dan
pikiran demi kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin khususnya.
Zain Al-Abidin sangat dihormati dan disegani oleh Sultan, di mana Sultan
tidak memutuskan sesuatu sebelum terlebih dahulu meminta pendapat Imam
ini, bahkan tidak jarang Sultan datang ke rumahnya untuk sesuatu
kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Akibat kedudukan
yang tinggi ini, Zain Al-Abidin menghadapi banyak lawan, namun selalu
menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana. sehingga akhirnya lawan
berubah menjadi kawan. di samping sebagai guru besar dalam ilmu-ilmu
Syariat, Tasawuf dan Bahasa, ia menguasai soal pertanian dan bidang
-bidang profesi lain; memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan
petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia sering mengobati mereka yang
menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041 H
10.
Ulama telah merasa puas dengan karya-karya Al-Ghazzali dan Annawawi
sehingga tidak merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri baik
dalam ilmu Syari’at, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan tenaga
dan fikiran untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran yang
terkandung di dalam kitab-kitab itu.
11.
Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Setelah
menyelesaikan pendidikan pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia
meneruskan pendidikannya ke Yaman dan Hijaz untuk berguru kepada
ulama-ulama besar di kedua negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci
untuk menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena mengajar dikedua
kota suci Makkah dan Madinah ia digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid
abad kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya Imam Ali bin
Alwi (sudara kandungnya) dimana tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis
sepucuk surat ta’ziah dan sekaligus memintanya kembali pulang ke kampung
halaman untuk memimpin umat dan menggantikan kedudukan Almarhum sebagai
da’i dan mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang menuntutnya.
Berpuluh murid telah dicetak menjadi ulama besar termasuk di antara
mereka adalah putra-putranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad. Wafat di
Tarim, pada tahun 731 H
12.
Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis yang
datang menyerang pesisir Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri itu
pada tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil mengusir kaum
kolonial , Kendati telah gugur para syuhada dalam peristiwa ini .
Sumber : Sirah As-Salaf min Bani ‘Alawy Al-Husainiyin, oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri
Posting Komentar