TAHAP KETIGA
Tahap ini bermula dan abad kesebelas H. hingga abad keempat belas H.
Tokoh-tokoh abad ini dikenal dengan gelar ” Habib “, seperti Habib Abdullah Al-Haddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr Al Jufrie dan lain lain.
Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini – secara umum – berada di bawah
tingkat sebelumnya. Kendati demikian, telah muncul di atas pentas
tokoh-tokoh yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak
kurang peranannya dari tokoh-tokoh kedua tahap sebelumnya. Tokoh utarna
tahap ini adalah Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) – sebagai tokoh puncak golongan Alawiyin masa itu, dan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih (wafat 1163 H.).
Hijrah Kaum Alawiyin
Tahap ini ditandai dengan derasnya arus hijrah – melebihi masa-masa
sebelumnya – ke India, pada abad kesebelas dan keduabelas H. yang
kemudian berlanjut dengan hijrah ke negara-negara Asia Tenggara
(Indonesia dan Malaysia) pada abad-abad berikutnya.
Adapun faktor yang mendorong Alawiyin melakukan hijrah adalah seperti
telah disinggung pada pembahasan perkembangan alawiyin pada masa tahap
pertama ditambah pula dengan perkembangan alawiyin di Hadramaut melebihi
masa-masa sebelumnya. Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar
lebih besar dari mereka yang berada di tanah air sendiri, di mana di
negeri mereka Hadramaut – kemungkinan yang tersedia tidak mampu memberi
kepuasan bagi perwujudan cita-cita mereka.
Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila mereka berhijrah, lalu
menjadikan daerah baru itu sebagai tanah airnya. Dan tidak aneh pula
apabila mereka kemudian menonjol, serta menunjukkan kemampuan-kemampuan
luar biasa sehingga dapat menduduki posisi-posisi penting, memegang
kendali perekonomian, kegiatan keagamaan bahkan kadang-kadang juga
kekuasaan eksekutif. Kaum Alawiyin dalam hal ini juga diikuti oleh
golongan-golongan lain yang hijrah dari Hadramaut, baik mereka yang
hijrah ke Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz (Saudi Arabia) dan lain-lain.
Bahkan ada di antara mereka yang kemudian mendirikan kerajaan atau
kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini.
Seperti kerajaan Al ‘Aidarus di Surrat (India), Kesultanan Al-Qadri dan
Al-Syekh Abubakar di Kepulauan Komoro (Comores), Al-Syahab di Siak,
Al-Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina.
Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di antaranya dimuat oleh majalah Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah Annahdhah Al Hadhramiyah.
Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan penelitian bagi mereka yang
berminat untuk rnengkajinya. Melalui kaum Alawiyin, Islam tersebar luas
di Indonesia, Malaysia dan Pilipina.
Hijrah kaum Alawiyin – dan saudara-saudara mereka lainnya dari
Hadramaut – ke negara-negara tetangga (negara-negara Arab di Timur
Tengah), tidak banyak mempengaruhi tradisi, juga bahasa mereka, yakni di
negara-negara yang berbahasa Arab, seperti Hijaz (Saudi Arabia),
negara-negara Teluk, Mesir, Syam (Suria) dan Sudan, kendati di tiga
negeri terakhir ini jumlah mereka tidak banyak.
Adapun di perantauan luar Arabia, seperti negara-negara Islam
tersebut di atas, maka dengan sendirinya mereka telah mengadakan
hubungan kekeluargaan melalui pernikahan untuk mempererat hubungan
dengan penduduk setempat, karena memang sulit bagi mereka memboyong
keluarga bersama mereka. Seandainya yang demikian terjadi (yakni
rnembawa isteri-isteri dan anak-anak mereka) maka bahasa Arab akan lebih
cepat dan lebih luas tersiar, sebagai bahasa Alqur’an yang dimuliakan
oleh kaum Muslimin.
Akan tetapi, meskipun telah melakukan pembauran di daerah-daerah yang
amat jauh itu, namun hingga waktu yang lama mereka masih rnemelihara
tradisi dan mengenang tanah air, terutama Tarim, sebagai pusat ilmu dan
pusat Alawiyin. Sekali-sekali mereka berkunjung ke negeri itu untuk
berziarah. Baru beberapa abad kemudian hubungan mereka dengan negeri
asal berkurang, sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungan di
mana mereka hidup, untuk lanjutnya terlebur di dalam periuk acuannya,
walaupun agama dan adat istiadat yang hak tetap terpelihara.
Bahkan pada masa sementara Alawiyin masih mengunjungi negeri asal,
mereka telah mernbawa kebudayaan dan tradisi India, Jawa (Indonesia),
dan daerah atau negara lain di mana mereka hidup. Hal ini tampak jelas
pada awal abad ketigabelas H.
Adalah sangat aneh jika ada sementara tokoh Alawiyin yang menentang
hijrahnya Alawiyin ke luar dan menganjurkan dengan gigih agar mereka
tetap tinggal di negerinya (Hadramaut), terutama pada ketiga abad
terakhir ini – namun tidak ada di antara para pemikir atau sesepuh yang
berusaha secara sungguh-sungguh memberi jalan yang dapat menghalangi
laju arus hijrah ini. Yaitu dengan menyebarluaskan kesadaran,
menggalakkan pertanian, membuat mereka merasa puas untuk hidup
sederhana serta meninggalkan tradisi-tradisi yang merugikan. Kalau pun
ada, orang-orang yang cukup memperingatkan hal demikian itu, amatlah
sedikit. Di antara mereka adalah Habib Muhsin bin Alawi Assaqaf (wafat
1293 H.)
Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama sekali dari Hadramaut – baik
bagi Alawiyin maupun penduduk Hadramaut secara keseluruhan – memanglah
merupakan hal yang tidak dimungkinkan oleh keadaan negeri itu sendiri
sejak dahulu kala.
Para Munshib
Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan ” Munshib”. Jabatan itu
sendiri dikenal sebagai “Manshabah”. Sebagian besar Munshib Alawiyin
muncul pada abad kesebelas dan abad keduabelas H. Seperti Munshib
Al-Attas, Munshib Al ‘Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim,
Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali,
Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain.
Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan
bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama manusia. Pemangku jabatan
ini – yang menerimanya secara turun temurun – selalu berusaha
mendamaikan suku-suku yang bersengketa – khususnya sengketa antara
suku-suku yang bersenjaia – menjamu tamu yang datang berkunjung,
menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang
memerlukan petunjuk dan bantuan bagi yang memerlukan bantuan.
Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini (1948 M),
sesuai dengan tujuan “Manshabah” yang didirikan untuknya. Para Munshib
tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan
jabatannya. Hanya saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila
dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian, kemampuan,
maupun kewibawaan, sehingga secara berangsur, lembaga ini makin lama
makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya
perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai
dangan, apa yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka.
Golongan Alawiyin dan Politik
Pada pasal-pasal lampau telah dibicarakan sejarah perkembangan
Alawiyin dalam berbagai bidang kehidupan pada ketiga tahap terdahulu.
Kini hanya tinggal bidang politik.
Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi pegangan tokoh-tokoh Alawiyin,
mereka senantiasa menjauhkan diri dan tidak hendak mencampuri urusan
politik, kecuali dalam hal-hal yang erat hubungannya dengan kepentingan
dan maslahat umum. Yaitu dengan menggunakan pengaruh spiritual mereka,
dan hanya pada batas-batas tertentu.
Disebutkan dalam biografi bahwa Al Muhdhar, Al-A’idarus. Al-A’dani,
Zain Al-A’bidin Al-A’idarus, Al-Haddad dan lain-lain adakalanya mereka
bergaul dengan para raja dan penguasa negeri serta mengadakan surat
rnenyurat dengan mereka. Para penguasa itu pun sering meminta nasihat
dan petunjuk dari tokoh-tokoh tersebut serta mengharap doa mereka.
Namun, bila diteliti hubungan mereka dengan para penguasa nyatalah bahwa
hubungan mereka tidak lebih daripada mengarahkan para penguasa agar
melakukan kebijaksanaan yang sesuai dengan keadilan dan kepentingan
umum.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai pengaruh spiritual yang cukup
besar di kalangan suku-suku bersenjata, namun mereka tak pernah;
mengeksploitasi pengaruh itu untuk tujuan-tujuan yang tidak layak.
Jika sekiranya mereka mengarahkan minat, demi kepentingan pribadi,
atau berambisi meraih kekuasaan politis, dengan mudah mereka akan
mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa itu seringkali peluang
terbuka dan kesempatan ada, namun mereka tidak pernah memanfaatkannya,
seperti dapat diketahui oleh mereka yang mengkuti dan mengkaji sejarah
Hadramaut. Seperti pada peristiwa yang terjadi di antara Zain’ Al-Abidin
AI-A’idarus dengan Hasan bin Al-Qasim, Imam golongan Zaidiyah dari
Yaman, peristiwa Husein bin Sahl dengan Syekh Awadh Gharamah, semua itu
merupakan bukti-bukti nyata bagi apa yang dikemukakan tadi.”[13]
Dalam hal ini, dapatkah kiranya dikemukakan alasan seperti telah
disebutkan sebelum ini, tentang langkanya karya-karya tulis dalam bidang
ilmu pengetahuan, dan budaya, yaitu akibat sangat dalamnya pengaruh
ajaran tasawuf dalam jiwa rnereka? Atau mungkin juga ada alasan-alasan
lain yang hingga kini belum terungkap mengingat apa yang terjadi dalam
praktek seringkali jauh berbeda dengan dasar-dasar teori semata?
Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa Alawiyin tidak pernah berusaha,
apalagi berpetualang, untuk mencapai keberhasilan dalam bidang politik
baik untuk mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti dilakukan oleh
saudara-saudara sepupu mereka yaitu Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di
negeri Maghrib (Afrika Utara) dan para Imam di Yaman.
Adanya pribadi-pribadi tertentu dari kaum Alawiyin yang pernah
berhasil mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti disebutkan sebelum
ini, tidak dapat dijadikan dasar umum bagi cara hidup salaf dan tokoh
Alawiyin. Kadang-kadang pengaruh situasi dan kondisi begitu kuat untuk
menentukan sikap. Suasana demikian itulah yang membuat sementara
Alawiyin mernegang tampuk pimpinan dan tidak dapat mengelak untuk
menghindar dari jabatan.
———————————————————————————————————————————–
Catatan Kaki :
13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana Sultan Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim (wafat 1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan ini untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu dan mendampinginya
Catatan Kaki :
13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana Sultan Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim (wafat 1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan ini untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu dan mendampinginya
Sumber : Sirah As-Salaf min Bani ‘Alawy Al-Husainiyin, oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri
Posting Komentar