Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (محمد نووي الجاوي البنتني) lahir
di Tanara, Serang, 1813 – meninggal di Mekkah, 1897) adalah seorang
ulama Indonesia yang terkenal. Ia bergelar al-Bantani karena ia berasal
dari Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang
sangat produktif menulis kitab, yang meliputi bidang-bidang fiqih,
tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Jumlah karyanya mencapai tidak
kurang dari 115 kitab.
Kelahiran
1230-1314 H / 1815- 1897 M Lahir dengan
nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar
ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di
Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten
Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman
Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun
1230 H atau 1815 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin
Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten.
Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang
makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara,
nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama
Banten, ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
Pendidikan
Semenjak kecil beliau memang terkenal
cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan
ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaanpertanyaan kritisnya sering
membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada
putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya keberbagai
pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari
ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji
kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usia beliau yang belum lagi mencapai
15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian
karena karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari
tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang
kian hari bertambah banyak. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji
dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh
Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd
Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh
Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid
Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama
terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau
terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar
mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad
Zaini Dahlan, ulama besar di Medinah.
Nasionalisme
Tiga tahun bermukim di
Mekah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan
praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari
Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang
masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau
keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja
Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah
di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut
Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan
terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).
Sebagai intelektual yang memiliki
komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa
boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat
ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama
Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan
Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan Snouck
Hourgronje. Begitu sampai di Mekah beliau segera kembali memperdalam
ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun,
sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau berketepatan
hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari
tekanan kaum penjajah Belanda. Nama beliau mulai masyhur ketika menetap
di Syi’ib ‘Ali, Mekah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula
muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak.
Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi
al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama,
terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama beliau semakin melejit ketika
beliau ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib
al-Minangkabawi. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi Syaikh
Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai
dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan
Medinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur
di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas
kemerdekaan Indonesia.
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan
nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa
berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah beliau menyampaikan
perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja
membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus
Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa”.
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh
Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan.
Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati,
tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa.
Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H.
Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri
Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie
Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asyari saat mengajar
santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca
kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan
terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyari hingga
haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan
pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah
dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak:
Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.
Gelar-Gelar
Berkat kepakarannya, beliau mendapat
bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck
Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan
Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh
Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang
sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia
menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Karya-Karya
Kepakaran beliau tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbâr dalam kitabnya “al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm” (beberapa
kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil
Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga
karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu.
Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap
kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya
adalah sebagai berikut:
- al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
- al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
- Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
- Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
- al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
- Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
- Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
- Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
- Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
- Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
- al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ
mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
- Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
- Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
- Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
- Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
- Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
- Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
- Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
- Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
- Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
- Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
- Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
- Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
- al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
- ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
- Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
- Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
- al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
- Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
- Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
- al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
- al-Riyâdl al-Fauliyyah
- Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
- Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
- al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
- Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
- al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
- Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat
monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain,
karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang
sangat terkenal itu. Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah
atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim
bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis
ketimbang matan yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu
Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara
dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di
bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah
al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj
al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya
beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa,
yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua
pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama
di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang
ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara
rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir
seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat,
terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut
sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah
atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah
tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Karomah
Konon, pada suatu waktu pernah beliau
mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat
itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni
rumah-rumahan di punggung unta, yang beliau diami, sementara aspirasi
tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon
kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi
jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama
Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar
beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan
Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak
hilang. Karamah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat
mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid
yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid
Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang
ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang
menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang
tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân.
Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap
berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi
remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak
bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan
keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân.
Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.
Lihatlah Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat
dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara
Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan
agar tepat menghadap ke Ka΄bah”. Ujar Syaikh Nawawi remaja.
Sayyid Utsmân termangu. Ka΄bah yang ia
lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat
jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh
kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur
basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap
terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh
kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan
terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab
Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus
digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan
tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan
di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap
terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti.
Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau
orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan
tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya
genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk
menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para
petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang
mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu
apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah
yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau
tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan
para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan
kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang
sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang
membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti
sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah.
Demikianlah karamah Syaikh Nawawi
al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun
tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah pada
beliau. Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat
kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab
Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami
Firman Allah swt. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih,
Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah
di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan
terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan beliau.
Wafat
Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya
sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang
atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada
tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun
wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma’la
di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari
Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.
Referensi
- Nurul Huda, Sekilas tentang: Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani, Alkisah, No.4, 14 September 2003 M, h. 2.
- Salmah, dkk, Perjalanan 3 Wanita, (Jakarta: Trans TV, pukul 06:30-07:00), Selasa, 10 Juli 2007 M.
- Kisah Wali, Alkisah, No.3, 02-15 februari 2004 M, h. 100.
- Kiai Muhammad Syafi’i Hadzami, Majmu’ah Tsalâtsa Kutub Mufîdah, (Jakarta, Maktabah al- Arba’in, 2006 M/1427 H), h. J.
- Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 7.
- Habib ‘Utsman bin ‘Aqil bin ‘Umar bin Yahya
dilahirkan di Pekojan, Jakarta pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238 H/
1822 M. Ibunya bernama Aminah binti Syaikh ‘Abdurrahman bin Ahmad
al-Mishri, putri seorang ulama dari Mesir. Habib ‘Utsman bermukim di
Makkah selama 7 tahun. Guru-guru beliau di antaranya ayahnya sendiri,
Habib ‘Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya dan seorang Mufti Syafi’iyyah di
Makkah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Pada tahun 1848 beliau berangkat ke
Hadramaut menuntut ilmu kepada sayyid ‘Alwi bin Saggaf al-Jufri dan
Sayyid Hasan bin Shaleh al-Bahr. Dari Hadramaut berangkat lagi ke Mesir
dan belajar di Kairo selama 8 bulan. Perjalanan menuntut ilmu
dilanjutkan lagi ke Tunis, Aljazair, Istanbul, Persia dan Syria. Setelah
itu beliau kembali lagi ke Hadramaut.
Habib ‘Utsman adalah pengarang kitab yang sangat produktif. Hal ini
dikemukakan oleh L.W.C Van Den Berg (1845-1927) di dalam bukunya yang
telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesiadengan
judul Hadramaut dan koloni Arab di Indonesia (1989). Ia telah mencatat
bahwa Habib ‘Utsman memiliki 38 karya, 11 buah karyanya ditulis dalam
Bahasa Arab, sedang sisanya disusun dalam Bahasa Melayu.
Buku tersebut diterbitkan di Betawi pada tahun 1886 M, ketika itu Habib
‘Utsman masih hidup dan masih terus menghasilkan karya-karyanya. Beliau
pada tahun 1862 M/ 1279 H selepas dari hadramaut pulang ke Betawi dan
menetap di Pekojan. Kemudian diangkat menjadi Mufti Betawi menggantikan
Syaikh Abdul Ghani. Hingga wafat pada tahun 1331 H/ 1913 M. “Sekilas
tentan Habib ‘Utsman”, Alkisah, No. 3, 02-15 februari 2004 M, h. 108.
- Kisah Wali, Alkisah, h. 103.
- Syekh Nawawi Bantani: Mulianya jasad sang wali, Alkisah, No. 3, 02-15 Februari 2004 M, h. 105.
- Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 5.
Dikutip dari http://alkisah.web.id