Siang begitu panas menyengat para penjual dan pembeli di pasar, di
bilangan Pekojan, Jakarta Barat. Di saat itu, seorang tukang cukur
ngobrol dengan tukang kain.
“Ah, tumbenan amat nih hari lagi sepi,” keluh tukang cukur. “Dagangan lu rame, Jid?” Tanya tukang cukur pada tukang kain.
“Namanya juga usaha, ya kagak rame saban hari,” sahut pedagang kain yang tengah duduk sambil melipat satu dua pakaian.
Keduanya biasa berbincang-bincang tentang usaha masing-masing. Di lain
waktu, percakapan pun mengaitkan pedagang lain yang juga mangkal
sepanjang pinggir jalan. Mereka sudah lama saling kenal.
Namun, namanya orang pasar, tak sampai mengenal detil masing-masing.
Apalagi kegiatan dan status masing-masing di tempat tinggalnya. Meski
demikian, tukang cukur dan tukang kain lebih akrab dari yang lain,
karena tempat keduanya bersebelahan.
Suatu pagi, tukang cukur memenuhi permintaan tukang kain, yang
beberapa waktu sebelumnya, meminta menyambangi rumahnya. Beruntung
tukang kain ada di rumah. Ia pun di jamu alakadarnya.
Di luar dugaan, tukang cukur diajak ke masjid. Aneh memang aneh,
karena belum masuk waktu sembahyang. Belum keanehan itu lenyap, muncul
perintah dari tukang kain.
“Kau duduk dulu di sini sebentar, aku mau ambil sesuatu di rumah. Ada yang ketinggalan.”
Tukang cukur mematuhi saran temannya.
Keanehan tukang cukur makin berkecambah karena tak berapa lama,
masjid yang tadinya melompong itu didatangi orang-orang berpeci,
berserban dan mengenakan sarung. Dan, mereka menenteng kitab-kitab.
Tukang cukur tak enak hati. Sementara si penjual kain belum juga
menunjukkan dahinya. Satu tanda tanya besar membandul dalam hatinya.
“Astagfirullah, ni para kiai hendak berkumpul hingga tiap jengkal
sisi masjid hampir tak terlihat. Tepi ngomong-ngomong, ni para kiai, mau
ngapain? Kalau mau mengaji, siapa gurunya?” pertanyaan itu
berderet-deret di benaknya.
Di saat yang sama, heran pun segera merangkak di benak para kiai.
Meskipun dengan ungkapan berbeda, bahasa hati mereka seragam. “Ya Rabbi
Ya Karim, siapa ni orang? Beraninya dia bertengger di sebelah tempat
duduk Guru? Potongannya potongan pasar pula?”
Tak lama berselang, pedagang kain masuk masjid. Ia disambut takzim para kiai yang melingkari masjid tersebut.
Alangkah terkejutnya tukang cukur itu. Kawan yang kesehariannya
berdagang pakaian, adalah guru para kiai itu. Andaikan bukan di dalam
masjid dan di hadapan para kiai, entah di pinggir jalan atau di bulakan,
ia sudah terjumprit nyungseb ke tanah saking kaget dan malu. Ia kapok
lantaran ucapan-ucapannya di pasar selama ini sangat liar, slebor, dan
sembarangan.
Pedagang kain, sahabat tukang cukur itu, adalah Guru Abdul Majid, guru para kiai Betawi.
KH Abdul Madjid atau lebih dikenal Guru Madjid, lahir di Pekojan,
Tambora, Jakarta Barat, pada tahun 1887. Ayahnya bernama KH. Abdurahman.
Buyutnya bernama Rahamtullah merupakan keturunan Pangeran Diponegoro
yang datang ke Betawi dan kemudian tinggal di Kebayoran Lama.
Madjid kecil belajar ilmu agama pada ayahnya. Kemudian pada tahun
1897, pada usia 10 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Makkah. Ia
berguru kepada Syekh Mukhtar Attharid, Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami,
Syekh Ali al-Maliki, dan Syekh Sa’id al-Yamani. Di sana menimba ilmu
selama 20 tahun. Madjid kembali ke Tanah Air tahun 1914.
Di tanah Betawi, ia terkenal akan penguasaan berbagai ilmu,
diantaranya tasawuf, tafsir, ilmu falaq dan ilmu kalam. Ia hapal
Al-Quran yang merupakan satu keistimewaan tersendiri di tanah hooft
gubernur jenderal ini. Karena itulah, namanya berkibar kencang di
kalangan santri dan kiai Betawi. Ia diminta mengajar di majelis-majelis
di berbagai tempat.
Karena itulah jadwal Guru Madjid sangat padat. Ia mengajar di Gang
Abu dan Gang Sae Kemakmuran, Sawah Besar, Petojo, Batu Tulis, Tanjung
Priok, Kramat Senen, Rawa Bangke, Jatinegara, Klender, hingga
Tambun-Bekasi.
Sementara itu, di tempat tinggalnya, Guru Madjid juga membuka
pengajian. Ia mengajar dari pukul delapan hingga pukul sebelas. Muridnya
bukan sembarang murid. Mereka terdiri dari para kiai yang memiliki
majelis di kampungnya masing-masing, setingkat kecamatan atau
sekurang-kurangnya kelurahan.
Dari majelis-majelis tersebut, lahir ulama-ulama Betawi di kemudian
hari. Mereka adalah KH Abdur Razak Makmun Tegal Parang (Katib III
Syuriyah PBNU tahun 1967-1971) KH Sayafi’i Hadzami Kebayoran Lama (Rois
Syuriyah PBNU 1994-1999), KH Abdullah Syafi’i (pendiri As-syafi’iyah),
KH Thohir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thohiriyah), KH Najihun Kosambi,
dan masih banyak lagi.
Di tengah kesibukannnya Guru Madjid aktif di organisasi Masyumi-NU,
anggota Cosangiin (anggota DPRD zaman jepang). Selain itu, dia tidak
lupa menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisannya. Kitab Taqwimun
Nayyirain yang membahas ilmu falaq adalah buah karyanya.
Kesibukan lain dari kiai yang wafat 1947 ini, adalah berjualan pakaian. Ia menghidupi keluarganya dengan keringatnya sendiri. (Al-Hafiz Kurniawan)
Sumber: Wawancara KH Hasbullah Pondok Pinang
http://www.nu.or.id
Posting Komentar